Membahas tentang pencemaran lingkungan akibat aktivitas manusia, topik ini selalu relevan. Terutama di Indonesia, sebuah negara dengan penduduk yang mencapai ratusan juta jiwa. Apabila penduduk tidak mampu mengelola sumber daya alam dengan bijak, dampaknya akan berbalik memengaruhi manusia itu sendiri. Hal yang sama berlaku saat membahas masalah air dan limbah. Akan tetapi sangat disayangkan, kesadaran masyarakat Indonesia terhadap pengelolaan air dan pengolahan limbah masih kurang. Banyak juga yang masih belum mengetahui tentang investasi pengolahan air dan limbah.
Dalam aktivitas sehari-hari seperti mencuci piring, menyapu lantai dengan air, mandi, dan pengelolaan kotoran manusia, apabila tidak dilakukan dengan benar, dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan. Limbah air domestik ini dapat ditemukan di berbagai tempat, mulai dari perkampungan, perumahan, rusun, apartemen, hingga gedung perkantoran. Dampak yang paling serius adalah munculnya berbagai penyakit karena kurangnya pengelolaan limbah cair yang tepat. Belum lagi masalah pencemaran air yang lebih serius disebabkan oleh limbah dari aktivitas industri atau pabrik. Untuk mengatasi permasalahan ini, pembangunan sistem Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) harus didorong dan ditingkatkan.
Sistem IPAL
Dalam sebuah portal berita, Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Diana Kusumastuti, menjelaskan bahwa hanya ada 13 kota di Indonesia yang telah dilengkapi dengan sistem IPAL pada tahun 2017, dan keberadaannya terbatas pada kota-kota besar. Di kota-kota lain, pengelolaan air limbah domestik dilakukan dengan menggunakan sistem septic tank dan IPAL berskala kecil (on-site treatment). Sayangnya, kelemahan dari sistem ini adalah kurangnya fasilitas untuk pengelolaan limbah domestik, yang berpotensi mencemari tanah jika tidak mematuhi standar peraturan. Berbeda halnya dengan penggunaan IPAL komunal (off-site treatment). Sistem pengelolaan ini berpusat, yang memungkinkan pengolahan limbah dalam berbagai bentuk. Inilah wujud investasi pengolahan air dan limbah yang diperlukan oleh setiap pemilik gedung dan kawasan industri.
Berdasarkan informasi dari indonesiabaik.id dan kompas.id, bahwa kondisi air dan sanitasi di Jakarta semakin memburuk dan berada di posisi kedua terendah dalam sanitasi di antara ibu kota di Asia Tenggara. Bahkan, 59% limbah cair dari kamar mandi tidak memiliki sistem pembuangan yang terkontrol. Untuk mengatasi permasalahan air limbah ini, pemerintah telah memulai sebuah program yang disebut Jakarta Sewerage System. Program ini akan mengelola pengolahan limbah secara terpusat dan terbagi menjadi 15 zona. Sistem IPAL tersebut merupakan salah satu bentuk investasi pengolahan air dan limbah demi menjaga kelestarian air agar tidak tercemar. Selain itu, sistem yang dibangun harus dikelola oleh pihak yang kompeten, untuk meminimalkan risiko dalam pengelolaan air dan limbah.
Investasi Pengolahan Air dan Limbah
Untuk mengurangi risiko dalam investasi pengolahan air dan limbah, pembangunan sistem tersebut harus mematuhi peraturan pemerintah. Sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No: P.68/Menlkh/Setjen/Kum.1/8/2016, pemilik gedung diwajibkan memiliki sistem pengolahan air yang memenuhi standar yang telah ditetapkan. Aturan ini berlaku bagi gedung-gedung seperti rumah sakit, perkantoran, rusun, dan lainnya yang diharuskan memiliki sistem IPAL. Namun, pembangunan sistem IPAL dan pemeliharaannya membutuhkan investasi yang cukup besar. Biaya ini merupakan bentuk investasi pengolahan air limbah yang sekaligus memenuhi standar regulasi. Contoh sistem yang dapat diterapkan di berbagai lingkungan seperti industri, perumahan, dan perkantoran adalah Water Treatment Plant (WTP), yang mampu mengolah air terkontaminasi menjadi air yang layak digunakan.
Saat ini, vendor atau perusahaan jasa pengolahan air menyediakan berbagai model bisnis untuk mengoptimalkan investasi pengolahan air dan limbah. Model pertama adalah Build Own Operate (BOO), yaitu penyedia jasa juga berperan sebagai investor yang memiliki hak atas pengembalian investasi dan keuntungan yang wajar. Dalam model ini, investor dapat mengambil biaya dengan persetujuan pengguna jasa dalam operasional peralatan dan proses kerja, termasuk perawatan, perbaikan, pengadaan tenaga kerja, pengujian laboratorium, dan sebagainya. Model kedua adalah Build Own Transfer (BOT), yaitu penyedia jasa memberikan investasi hingga kontrak pekerjaan selesai, dan semua peralatan yang diinvestasikan pada awal kontrak menjadi hak milik pengguna jasa. Sebelum memilih di antara kedua model bisnis tersebut, disarankan agar pengguna jasa berkonsultasi dengan pihak vendor untuk klarifikasi lebih lanjut. Untuk mendukung pemerintah, pengusaha, dan masyarakat dalam mencapai tujuan air bersih tanpa terkontaminasi limbah, Adika Tirta Daya sebagai vendor pengolahan air merupakan pilihan yang tepat dalam mengoptimalkan investasi pengolahan air dan limbah. Adika Tirta Daya selalu berkomitmen untuk memberikan layanan terbaik kepada pelanggannya, dengan dukungan teknologi pengolahan dan penanganan limbah yang sesuai dengan standar baku mutu dan peraturan yang berlaku. Jika Anda tertarik untuk bekerja sama, Anda dapat langsung menghubungi tim marketing Adika Tirta Daya untuk informasi selengkapnya. Mari bersama-sama melestarikan air demi masa depan yang lebih baik!